ada sejumlah email yang masuk dan bertanya tentang peluang mendapatkan beasiswa kuliah di Jerman. Jujur saja saya tidak tahu. Kalau tahu, saya akan mendaftar terlebih dahulu, he he he.
Di depan Universität Wien, mumpung melewati salah satu universitas tertua di dunia. Cuma berfoto-foto saja, baru jam 4 tapi sudah gelap, karena saat itu musim gugur. |
Salah satu alasan saya kenapa saya kuliah jurusan bahasa Jerman adalah agar mendapat beasiswa ke Jerman. Begitu kuliah, saya harus menerima kenyataan bahwa beasiswa tersebut tidak ada, sekalinya ada sangat terbatas. Jadi saya harus berpuas diri dengan hanya mendapat beasiswa kursus di Goethe Institut selama beberapa tahun dan beasiswa Super Semar di kampus.
Untuk mahasiswa IKIP Jakarta (sekarang UNJ atau Universitas Negeri Jakarta) biasanya mendapatkan kesempatan ke Jerman selama beberapa bulan. Tetapi saya tidak paham kriteria mereka yang mendapatkan beasiswa, tahu-tahu sudah ada aja senior, teman seangkatan dan adik kelas yang berangkat ke Jerman mendapatkan beasiswa dari Goethe Institut. Tapi saya yakin, suatu hari saya akan ke Jerman atau ke Eropa meski tidak dibantu oleh Goethe Institut atau kampus saya.
Beasiswa yang paling mudah tentu saja dari Yayasan Orang Tua Tercinta. Tapi bagaimana jika orang tua kita tidak mampu menyediakan 8000 Euro sebagai jaminan kuliah ke Jerman?
Ada beberapa cara. Yang pertama adalah dengan menjadi Au Pair atau kakak angkat. Sejumlah orang menganggapnya baby sitter, padahal bukan, meski sama-sama menjaga anak kecil. Posisi Au Pair dalam sebuah keluarga Jerman adalah setara dengan anggota keluarga yang lain. Jam kerjanya juga hanya beberapa jam, biasanya 8 jam sehari, dan hari Sabtu Minggu mendapatkan libur. Au Pair juga berhak kursus bahasa Jerman dengan biaya dari orang tua angkatnya.
Banyak mahasiswa Indonesia mencoba ke Jerman dengan cara ini. Modalnya cuma bahasa Jerman level A1 dan tiket pesawat, lalu mencari orang tua angkat di www.aupair.com.
Bedanya dengan TKW dan TKI yang umum adalah, kita bisa memilih orang tua kita, karena orang tua akan mencantumkan foto mereka dan anak yang akan dijaga. Kalau sudah cocok, mereka akan mengirimkan kontrak kerja. Kontrak kerja adalah hal yang wajib, kalau tidak ada kontrak kerja ini, jangan harap Kedubes Jerman akan memberikan visa. Beda dengan TKW dan TKI, karena sekali lagi, Au Pair bukan tenaga kerja baby sitter atau pembantu.
Karena awalnya, program ini adalah pertukaran budaya yang dilakukan oleh anak muda antar negara di Eropa. Hanya karena permintaan akan Au Pair begitu tinggi, maka program ini dibuka untuk warga negara bukan Eropa. Dan orang Jerman atau Eropa kemudian lebih suka dengan orang Asia, karena orang Asia lebih care dengan anak kecil dibanding dengan anak muda peserta Au Pair dari Eropa.
Yang menarik, jika keluarga Jerman tersebut cocok dengan kita, mereka bisa menjadi sponsor kita untuk kuliah di Jerman. Jadi banyak mahasiswa Indonesia terutama yang jurusan bahasa Jerman menjadikan posisi Au Pair sebagai batu loncatan untuk kuliah di Jerman. Banyak yang sudah mencoba dan sukses, yang paling banyak mencoba cara ini kemudian adalah lulusan SMA dari kota Cirebon. Saya yakin, dua puluh tahun dari sekarang, Cirebon akan menjadi kota dengan lulusan Jermna terbanyak di Indonesia.
Yang gagal ada juga, baik gagal memenuhi tugas setahun sebagai Au Pair atau ada juga yang harus pulang ke Indonesia setelah tugas sebagai Au Pair karena orang tua Jerman tidak mau menjadi sponsor mereka. Ada juga yang bertemu jodoh dan menikah dengan orang Jerman atau Austria. Salah satunya adik kelas saya, dan saya menginap di rumah mereka di Tulln, kota kecil dekat kota Wina, ketika saya ke Austria musim gugur 2012 lalu.
Yang kedua, berkunjung ke beberapa website yang fokus pada beasiswa. Cobalah cari di google dengan kata kunci "scholarship Germany" atau scholarship dengan jurusan yang dituju atau kalau bahasa Jermannya sudah bagus, cari dengan kata kunci "Stipendium". Stipendium berarti beasiswa. Saya berlangganan sebuah web beasiswa, tapi saya lupa namanya. Sayangnya, jurusan yang sering membuka kesempatan beasiswa adalah yang terkait dengan otak dan syaraf manusia. Jauh banget kan dengan bidang dan minat saya.
Ketiga, gak mesti Jerman kan? Karena kedutaan Swiss juga memberikan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia. Coba cek website kedubes Swiss. Beasiswa diberikan untuk master di universitas negeri dan ada batasan usia yaitu di bawah 35 tahun.
Ada pengalaman yang cukup menyebalkan untuk mendapatkan beasiswa dari kedutaan Swiss ini. Saya pernah mendaftar beasiswa ini dan menghubungi sebuah jurusan di universitas negeri di Swiss. Karena website menyebutkan, beasiswa diberikan jika diterima di universitas negeri di Swiss.
Setelah memenuhi beberapa persyaratan termasuk membuat makalah dalam bahasa Jerman, saya diterima di universitas tersebut. Namun, ketika saya mengajukan beasiswa ke Kedubes Swiss, pegawai Kedubes Swiss (orang Indonesia) tersebut menolaknya, karena universitas dan jurusan tersebut tidak termasuk dalam daftar universitas yang bisa diberikan beasiswa.
Padahal setahun sebelumnya, pegawai yang sama tidak memberikan kriteria jurusan mana yang akan mendapatkan beasiswa, jurusan mana yang tidak bisa mendapatkan beasiswa. Saya rugi menunggu setahun untuk proses pendaftaran dan penerimaan di universitas tersebut dan usia saya sudah tidak bisa mengajukan beasiswa lagi.
Jelas saya murka sekali dengan pegawai tersebut yang salah memberikan informasi. Setahun kemudian saya menemukan nama pegawai tersebut dalam daftar peserta ujian B2 di Goethe Institut. Jangan-jangan dia ikut ujian untuk ikut beasiswa tersebut atau mau menikah dengan orang Swiss. Sayang sekali, sama-sama orang Indonesia tetapi tidak mau membantu sama sekali.
Austria juga banyak memberikan beasiswa, tetapi saya tidak tahu dari mana para mahasiswa itu mendapatnya. Sepertinya kebanyakan dari lembaga pemerintah. Austria negara kecil dan tidak terlalu terkenal di Indonesia, sehingga mahasiswa Indonesia yang kuliah di Austria juga tidak sebanyak di Jerman.
Yang perlu diperhatikan oleh teman-teman jika ingin mendapatkan beasiswa, dari negara atau pihak manapun adalah harus sabar dan rajin mencari informasi. Kedua, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita harus masuk ke dalam sebuah lembaga. Jarang sekali ada beasiswa untuk perorangan. Kecuali orang tersebut telah menjadi tokoh atau "seseorang" di negeri ini. DAAD atau Deutsche Akademiches Austausch Dienst memberikan beasiswa yang bersifat "G to G" atau "Government to Government". Jadi yang diberikan beasiswa adalah dosen dari Indonesia untuk kuliah atau melakukan penelitian di Jerman atau mengundang dosen atau peneliti Jerman untuk memberikan kuliah di Indonesia.
Saya mendapat beasiswa dari pemerintah Austria untuk training kepemiluan selama satu bulan pada Oktober-November 2012 yang lalu. Nama program tersebut adalah International Peacebuilding Training atau IPT yang diselenggarakan oleh Austrian Study Center for Peace and Conflict Resolution atau ASPR.
Saya mendapatkan beasiswa tersebut karena kerja-kerja saya selama ini di Indonesia sebagai pemantau pemilu yang tergabung dalam KIPP Indonesia (Komite Indonesia Pemantau Pemilu). Saya bergabung dengan KIPP Indonesia sejak tahun 1998 dan posisi saya sekarang adalah Kepala Departemen Hubungan Internasional.
Sekarang pun saya sedang mencari beasiswa tetapi tidak untuk memperdalam bahasa Jerman, melainkan untuk Demokrasi dan Kepemiluan. Mungkin saya akan mencari beasiswa ke negara Jerman, mungkin ke negara lain di Eropa.
Universitas Frankfurt memiliki jurusan yang saya minati dan salah satu pengajar di sana merupakan trainer saya di Austria, jadi bisa menjadi referensi saya. Mungkin juga saya akan melamar ke Manchester University di Inggris, karena ada jurusan yang saya minati di universitas ini dan saya sedang mencoba beasiswa Chevening. Who knows .... :)