Pentingnya Pendidikan Karakter ( Dalam Perspektif Islam )
Salam sejahtera selalu untuk kita semua, sahbat muslim sekalian yang sama - sama dirahmati Allah, berikut ini adalah artikel singkat yang akan membahas mengenai Pentingnya Pendidikan Karakter ( Dalam Perspektif Islam ) yang diharapkan dapat memberi manfaat dan dapat bermanfaat pula bagi pribadi saya dan dapat pula diamalkan dikehidupan sehari-hari, guna mempersingkat waktu mari kita sama-sama menyimak ulasannya berikut ini :
1. Memudarnya Nasionalisme dan Jati Diri Bangsa
Nasionalisme secara umum berarti cinta tanah air, bangsa dan negara dan rela berjuang dan berkorban untuk kejayaannya. Dalam nasionalisme ada heroisme, altruisme dan patriotisme dan mengesampingkan individualisme, hedonisme dan anti sparatisme.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, jiwa nasionalisme Indonesia semakin terkikis atau semakin memudar, yang ditandai dengan berkembangnya semangat individualisme, hedonisme, terorisme dan bahkan sparatisme. Tanda-tanda kerkikisnya nasionalisme ini melanda hampir semua komponen bangsa baik muda maupun tua, rakyat biasa maupun pejabat negara termasuk kalangan anggota dewan. Bilan angkatan 45 dianggap sebagai generasi pejuang, angkatan 66 sebagai generasi pembangun, dan angkatan 98 sampai sekarang adalah generasi penikmat dan bahkan penghancur.
Untuk berebut menjadi pejabat publik, anggota dewan, pegawai negeri, polisi dan bahkan TNI dari tingkat rendah sampai pejabat tinggi harus membayar dengan sejumlah uang. Setelah tercapai apa yang diinginkan, lantas dengan berbagai cara agar uang yang telah dikeluarkan segera kembali, dan menggunakan fasilitas negara, wewenang dan hak-hak istimewanya (privilege) untuk memperkaya diri, memperkuat posisi dan menciptakan hegemoni. Mereka bukan sebagai abdi negara melainkan penghianat negara, bukan pejuang melainkan pecundang. Disamping itu masih ada fenomena terkikisnya nasionalisme yang lain yaitu munculnya sparatisme, terorisme, dan berkembangnya ideologi trans-nasional yang mengingkari paham kebangsaan, cinta tanah air dan negara. Fenomena lain dari terkikisnye nasionalisme adalah enggan memakai produksi dalam negeri, baik dalam bentuk makanan, pakaian, dan teknologi.
2. Merosotnya Harkat dan Martabat Bangsa
Indonesia sejatinya adalah bangsa dan negara besar: negara kepulauan terbesar di dunia, jumlah umat muslim terbesar di dunia, bangsa multi etnik dan bahasa namun bersatu, memiliki warisan sejarah yang menakjubkan dan kreatifitas anak negeri seperti batik, aneka makanan dan kerajinan yang eksotik, kekayaan serta keindahan alam yang luar biasa. Predikat sebagai bangsa dan negara yang positip itu seakan sirna karena mendapat predikat baru yang negatip seperti terkorup, bangsa yang soft nation, malas, sarang teroris, bangsa yang hilang keramah tamahannya, banyak kerusuhan, banyak bencana dan lain sebagainya.
Fenomena lain dari merosotnya harkat dan martabat bangsa adalah seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”. Bangsa Indonesia barangkali adalah negara pengekspor kuli/babu/tenaga kasar/unskill terbesar di dunia. TKI TKW kita diperlukan di negara-negara tujuan tetapi sangat tidak dihargai dan sering diperlakukan sebagai budak dan perlakuan yang tidak manusiawi lainnya. TKI/TKW memang dapat meningkatkan devisa negara, tetapi sesungguhnya madlorotnya lebih besar dari pada manfaatnya, termasuk merosotnya harkat dan martabat bangsa.
3. Mentalitas Bangsa yang Buruk
Indonesia memiliki modal atau kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan negara yang kuat. Modal itu antara lain: luas wilayah, jumlah penduduk, kekayaan alam, kekayaan budaya, kesatuan bahasa, ketaatan pada ajaran agama, dan sistem pemerintahan republik yang demokratis. Akan tetapi modal yang besar itu seakan tidak banyak berarti apabila mentalitas bangsa ini belum terbangun atau belum berubah ke arah yang lebih baik. Mentalitas bangsa Indonesia yang kurang kondusif atau menjadi penghambat kejayaan bangsa Indonesia menjadi bangsa maju antara lain: malas, tidak disiplin, suka melanggar aturan, ngaji pumpung, suka menerabas, dan nepotisme.
Pentingnya Pendidikan Karakter ( Dalam Perspektif Islam ) |
Selama mental sebuah bangsa tersebut tidak berubah, maka bangsa tersebut juga tidak akan mengalami perubahan dan akan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain, meskipun bangsa tersebut sesungguhnya memiliki potensi dan modal yang besar. Allah dalam hal ini secara tegas mengatakan:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. 13:11).
Media yang paling ampuh untuk merubah mentalitas bangsa adalah lewat pendidikan dan keyakinan agama. Pendidikan yang mampu merubah mentalitas adalah pendidikan yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, bukan hanya sekedar formalitas atau kepura-puraan. Keyakinan agama juga besar pengaruhnya bagi mentalitas bangsa. Karena itu melalui pendidikan agama yang mampu menanamkan keimanan yang benar, ibadah yang benar dan akhlakul karimah, niscaya akan menjadikan anak didik sebagai manusia terbaik, yaitu yang bermanfaat bagi orang alain melalui amal shalehnya.
4. Krisis Multidimensional
Berbagai permasalahan menimpa Bangsa Indonesia seperti masih adanya konflik sosial di berbagai tempat, sering mengedepankan cara kekerasan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan, praktek korupsi yang semakin canggih dan massif, sering terjadi perkelahian antar pelajar, pelanggaran etika dan susila yang semakin vulgar, munculnya aliran yang dianggap sesat dan cara-cara penyelesaiannya yang cenderung menggunakan kekerasan, tindakan kejahatan yang mengancam ketenteraman dan keamanan, praktek demokrasi liberal yang ekstreem dalam berbagai aspek kehidupan sehingga bertabrakan dengan budaya dan nilai-nilai kepatutan sebagai bangsa Timur dan bangsa yang religius.
Sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga masih menghadapi persoalan yang serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain masih adanya sebagian umat Islam yang belum at home sebagai Bangsa Indonesia. Mereka belum sepenuhnya menerima keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bentuk negara yang final. Masih adanya sebagian umat yang belum memiliki kemampuan dan keterampilan untuk hidup bersama dalam keberbedaan. Impak dari sikap itu antara lain berupa masih kuatnya eksklusifitas, maraknya gerakan-gerakan umat yang kontra produktif, seperti terorisme, garakan-gerakan bawah tanah yang bertujuan mengganti bentuk negara, berbagai bentuk pembangkangan dan bahkan perlawanan terhadap negara dan pemerintahan yang sah. Akibat dari sikap sebagian umat Islam ini sangat luas, berangkai dan kontra produktif bagi bangsa dan negara, dan khususnya bagi umat Islam.
Permasalahan yang serius juga terjadi di dunia pendidikan. Pelanggaran etika sosial dan susila serta kekerasan dalam berbagai bentuknya sering terjadi seperti: perkelaian antar pelajar, seks bebas, tindak pidana, sikap tidak etis terhadap guru, berbagai bentuk pelanggaran tata tertib sekolah, dan minimnya prestasi dan kejayaan yang dicapai para pelajar kita.
Permasalahan bangsa tersebut di atas semakin diperparah dengan tayangan telivisi yang sangat vulgar, life, tidak mengenal waktu tayang, dan diulang-ulang oleh hampir semua stasiun TV dan juga surat kabar. Peristiwa pembunuhan, pemerkosaan, perkelaian, perampokan, pembakaran, demo yang anarkis, tidakan aparat yang represif, perceraian, terorisme dan berbagai bentuk tindakan kejahatan justru menjadi menu utama dan disiarkan dalam berbagai bentuk tayangan (berita, peristiwa, sinetron, dialog dan lain-lain). Semboyan wartawan adalah “bad news is good news”. Berita baik apabila ada unsur ‘blood” dan “crowd”. Tindakan memperolok, memfitnah, menghina, mengadu domba, pembunuhan karakter justru difasilitasi oleh media.
Fenomena di atas, apabila kita renungkan akan menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Prihatin terhadap kualitas generasi muda di masa depan, prihatin terhadap citra dan daya saing bangsa kita yang semakin rendah dan direndahkan oleh bangsa-bangsa lain. Kita juga prihatin terhadap stigma terhadap sebagian umat Islam yang diidentikkan dengan teroris, anti intelektual dan anti peradaban.
Berbagai permasalahan tersebut diasumsikan bersumber dari krisis etika dan moral: bisa korupsi dianggap prestasi, penipuan dianggap lumrah asalkan tidak keterlaluan, hilangnya budaya malu (marwah), hilangnya keperawanan tidak lagi disesalkan, politik uang untuk membeli kekuasaan, berbudi bahasa yang santun dianggap suatu kelemahan, agama tidak lagi dipedomani sebagai akhlak melainkan sebagai alat kepentingan dan kekuasaan, dan bahasa kekerasan adalah bahasa kekuasaan dan ketertindasan.
Adanya krisis etika dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan juga krisis etika dan moral dalam beragama lantas memunculkan pertanyaan tentang peranan dan sumbangan Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam membentuk etika dan moral. Walaupun variabel perkembangan permasalahan tersebut sesungguhnya sangat kompleks, namun seringkali secara langsung maupun tidak langsung dihubungkan dengan permasalahan pendidikan agama di sekolah. Pertanyaan seperti ini dianggap sah-sah saja karena sumber dari berbagai permasalahan tersebut adalah akibat adanya krisis etika dan moral, sedangkan tugas pokok pendidikan agama adalah membentuk anak didik memiliki moralitas dan akhlak budi pekerti yang mulia.
Kondisi tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Kondisi ini menuntut semua pihak untuk mengambil peran masing-masing guna menyelamatkan generasi muda dan bangsa. Kaum agamawan sebagai penjaga etika dan moral masyarakat termasuk di dalamnya guru agama harus diberdayakan agar dapat mengambil peran secara signifikan. Demikian juga pendidikan agama yang memiliki peran strategis harus semakin ditingkatkan mutu dan relevansinya bagi upaya pembangunan moral bangsa. Pendidikan agama di sekolah perlu direkonstruksi agar dapat memerankan tugas dan fungsinya secara efektif yaitu membangun akhlak (etika dan moral) generasi penerus bangsa.
Rekonstruksi itu meliputi aspek filosofis, substantif dan metodologis.
Demikian penjelasan singkat diatas dan sukses selalu bersama anda.
“ Terimakasih Semoga Bermanfaat “